MAKALAH
RESPON DAN TANTANGAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Ditujukan untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen pengampu : Fahmi Irhamsyah,M.Pd. CPD.
Disusun oleh :
1. Ersa Putri Efendi (220410207)
2. Fitri Salamah Andesa (220410208)
3. Ika Nisrina (220410104)
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH ( STIT ) FATAHILLAH TAHUN AKADEMIK 2022 – 2023
Alamat : kp. Tengah, RT. 03/RW. 06 , Cipeucang, kec. Cileungsi, Kabupate n Bogor,
Jawa Barat 16820
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok Filsafat pendidikan islam , dengan judul : “Repons Terhadap Islamisasi Ilmu Pengetahuan Masa Kini ”.
kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan do’a, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatsnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran dan kritik, yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.
Jonggol, 24 Oktober 2022
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan atau istilah lain yang berdekatan dengannya merupakan salah satu isu yang mendapat respons luas dari kalangan intelektual Muslim di seluruh dunia termasuk Indonesia. Dengan alasan yang bersifat ideologis dan teknis, gagasan Islamisasi ilmu tersebut dalam perjalanannya di samping menimbulkan perdebatan dan pro kontra, dalam praktiknya juga belum menunjukkan hasil yang signifikan. Kaum intelektual Muslim yang bercirikan sikap tidak puas dengan kemapanan dan kejumudan, selalu menawarkan gagasan dan pemikiran baru yang terkadang keluar dari mainstreaming yang berlaku di masyarakat. Perguruan Tinggi Islam atau Lembaga pendidikan lain di mana kaum Intelektual Muslim itu berada, menarik untuk dipertanyakan responsnya terhadap gagasan Islamisasi ilmu tersebut serta formulasi-formulasi konkret yang ditawarkannya. Dengan menggunakan data kualitatif yang ditulis para pakar yang otoritatif, artikel ini lebih lanjut berupaya menelusuri respons kaum Intelektual Muslim di Indonesia terhadap gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan.
Rumusan masalah
1. Bagaimana respon terhadap islamisasi ilmu pengetahuan masa kini menurut para cendikiawan
2. Apa saja reformis modern dan ilmu pengetahuan di zaman mereka
3. Siapakah Al-Faruq dan apa respon nya terhadap islamisasi ilmu pengetahuan pada
masa kini
4.Siapakah Sayyed Hossein Nasr dan apa respon nya terhadap islamisasi ilmu pengetahuan
5.Apa saja reaksi reaksi lain terhadap respon islamisasi ilmu pengetahuan
6.Apa saja sifat ganda islamisasi
Tujuan
1. Untuk mengetahui respon respon para cendikiawan tentang proses islamisasi ilmu pengetahuan masa kini
2. Untuk menegetahui penyebab terjadinya banyak respon terhadap islamisasi ilmu pengetahuan dari para cendikiawan islam
3. Untuk mengetahui sifat ganda islamisasi ilmu pengetahuan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Respon terhadap Islamisasi Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Sejak pertengahan 70-an, isu mengenai islamisasi ilmu pengetahuan telah menjadi agenda intelektual yang memberikan harapan besar pada kebangkitan Islam dan menjadi topik yang sangat kontroversial. Ia memberikan inspirasi kepada intelektual dan aktivis Muslim diseluruh dunia sekaligus mengundang reaksi keras.Pada saat umat islam benar-benar berada dalam keadaan tersisihkan dari pelbagai bidang kehidupan kolektif, isu islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer benar-benar menjadi sebuah “revolusi epistemologis’,seperti yang dikatakan oleh Al-Attas,yang bangkit bagaikan api mengarungi pelbagai pusat studi di seluruh dunia.Bagi Al-Attas dan mereka yang benar-benar memahami misinya, revolusi ini lebih fundamental dan bersifat membebaskan serta inklusif dibandingkan revolusi-revolusi yang dibawa oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat nasionalistis dan etnis. Pada saat yang sama, isu ini juga ditakuti oleh mereka yang belum memahami atau salah paham atau malah melecehkan makna dan signifikansi yang sesungguhnya. Mereka itu, dengan gaya masing-masing, mengira islamisasi berarti mengajak umat islam set back pada perjuangan masa lampau yang telah berabad-abad umurnya agar berperan aktif dalam kehidupan modern.
Bab ini tidak dimaksudkan untuk memaparkan kajian lengkap mengenai pelbagai tanggapan terhadap makalah yang disampaikan Al-Attas pada dua Konferensi Dunia mengenai pendidikan islam di Makkah dan Islamabad, yaitu ide dan pemikiran yang disampaikan di hadapan para cendekiawan Muslim terkemuka yang kemudian diterbitkan menjadi Islam and Secularism, Preliminary Thought on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education, dan The Concept of Education in Islam. Maksud kami disini hanyalah untuk menyampaikan sedikit pendapat yang kami anggap sebagai sample dari tanggapan-tanggapan itu. Namun sebagai latar belakang, mungkin perlu disamapaikan survei singkat mengenai sikap beberapa cendekiawan reformis Muslim modern terhadap ilmu kontemporer.
2. Reformis Modern dan Ilmu Pengetahuan pada Zaman Mereka
Sangat sedikit pemikir dan pembaru Muslim yang menyadari bahwa persoalan dasar yang menimpa umat Islam sejak beberapa abad yang lalu berkaitan dengan isi dan metode pendidikan yang kabur pada masyarakat mereka. Reformasi Muslim modern, menurut Fazlur Rahman, menggunakan dua pendekatan dasar terhadap ilmu pengetahuan Barat modern, yaitu:
a.Mereka yang berpendapat bahwa pencarian ilmu pengetahuan modern harus dibatasi oleh kebutuhan-kebutuhan pragmatis, yang bertolak dari kepercayaan bahwa ilmu-ilmu teoretis akan menyebabkan keraguan terhadap agama di kalangan umat Islam..
b.Mereka yang berpendapat bahwa keseluruhan ilmu pengetahuan modern haruslah diserap oleh umat Islam sebab dianggap berguna. Selanjutnya, mereka berdalih bahwa pada abad pertengahan umat Islam tidak hanya terbiasa mengambil aspek-aspek teknis ilmu-ilmu asing, tetapi juga pemikiran filosofinya. ilmu Barat modern dapat dikaji tanpa kesulitan yang berarti. ilmu Barat modern harus dianggap dan terima sebagai bagian dari dirinya.
Selain pendapat di atas, terdapat juga beberapa pandangan yang berada di tengah-tengah, seperti pendapat bahwa selain teknologi Barat dapat menjadi berbahaya jika tidak dibarengi pengetahuan moral yang cukup andal. Pada awal 1968, Isma’il Al-Faruqi telah membagi reformis Muslim modern ke dalam dua kategori yang luas berdasarkan sikap mereka terhadap ilmu pengetahuan dan sains modern, yaitu mazhab Satu-Kitab berpendapat, karena Al-Quran adalah sumber ilmu pengetahuan, semua pengetahuan ilmiah dan penemuan teknologi dapat dijustifikasikan secara langsung ataupun tidak dari ayat-ayatnya. Metode ini menghasilkan suatu bentuk apologi yang mungkin secara psikologis membantu bahkan secara intelektual netral. Dengan cara tertentu, mazhab ini tampaknya beranggapan bahwa Islam harus sesuai dan berhubungan dengan apa-apa yang secara ilmiah diterima dan berguna dalam kehidupan modern. Sedangkan di pihak lain, mazhab Dua-Kitab berpendapat bahwa:
keesaan Tuhan tidak dapat dipisahkan dari kesatuan kebenaran ( unity of thurt ), tetapi mereka mengakui adanya dua jalan yang terbuka untuk sampai pada keduanya, yaitu jalan wahyu dan jalan ilmu pengetahuan alam. Wahyu … mengajarkan kepada kita mengenai realitas dengan jalan langsung dan intuitif …. Alam semesta … adalah kitab yang terbuka bagi mereka yang telah memiliki kecanggihan intelektual untuk membacanya. Apa yang mereka baca sama dengan realitas yang disampaikan oleh wahyu kepada kita secara intuitif …. Jadi, kedua jalan tersebut, pada dasarnya, tunduk pada hukum intellijibilitas ( intelligibility ) yang sama.
Oleh karena itu, beberapa reformis Muslim mencoba menafsirkan kembali agama Islam agar sesuai dengan pandangan Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan sains, sedangkan yang lain berusaha menanamkan aspek-aspek ilmu Barat pada saat yang sama mempertahankan ilmu Agama dalam kurikulum pendidikan.
Solusi yang diajukan Al-Attas secara konsisten bukanlah sekedar membangun jalan dan cara untuk mengakomodasi semangat keilmuan barat modern melalui penafsiran ulang islam ,bukan pula mengimpor keterampilan teknologi barat dan produknya begitu saja sembari berpegang pada keseluruhan pemahaman agama secara tradisional. Al-Attas mempertanyakan orang-orang islam yang keyakinannya terhadap kebenaran Al-Quran , mendalam setelah diverifikasikan oleh penemuan ilmiah atau kedokteran. Sains modern harus didalami tetapi asas-asas filosofinya harus di susun kembali sesuai dengan kerangka metafisika islam, yang prosesnya saat ini di kenal dengan islamisasi ilmu pengetahuan masa kini, Dalam salah satu karya, dia menyatakan:
Kita setuju bahwa agama sejalan dengan sains.Namun hal ini tidak berarti bahwa agama sejalan dengan metodologi ilmiah dan filsafat sains modern. Karena tidak ada ilmu yang bebas nilai ,kita harus meneliti dan mengkaji dengan cerdas nilai dan penilaian yang melekat atau bersatu dengan pelbagai asumsi dan interpretasi ilmu modern. Kita hendaknya menerima secara kritis setiap teori ilmu atau filsafat yang baru dengan memahami terlebih dahulu implikasinya dan menguji validitas nilainya yang terkandung di dalam teori itu.
3. Al-Faruqi dan IIT (International Institute of Islamic Thought)
Ismail Al-Faruqi dan IIIT (International Institute of Islamic Thought) yang dibangun pada 1981 membuat istilah islamisasi ilmu pengetahuan menjadi populer di beberapa kalangan aktivis muslim juga kelompok cendekiawan. Dalam buku filsafat dan praktik pendidikan Islam Muhammad Noor Wan Daud menyoroti salah satu aspek yang tidak disampaikan oleh orang lain, tetapi Ismail Al-Faruqi sudah mengaplikasikan pemikiran-pemikiran Syed M.Naquib Al-Attas secara mendalam, cendekiawan muslim yang disegani di bidang etika Kristen juga orator ulung ini menjadikan Syed Al-Attas sebagai inspirasinya dalam menulis "Risalah the Islamization of Knowledge". Risalah tersebut menjadi terkenal usai seminar pertama mengenai islamisasi ilmu pengetahuan yang dihelat di Islamabad dan Pakistan, tepatnya pada perguruan tinggi atau universitas Islam pada 1982.
Setelah Al-Faruqi wafat, Toha Jabir Al-Awwani selaku presiden IIIT memberikan penilaian terhadap keterlibatan Al-Faruqi dalam islamisasi ilmu pengetahuan, berikut di antaranya: Alasan ini menghadirkan emosi yang meski sebelumnya emosinya telah terbagi ke dalam berbagai cabang alasan. setelah itu dia memfokuskan pikirannya pada alasan satu ini yaitu tentang islamisasi ilmu pengetahuan yang pada akhirnya mempengaruhi kehidupan dan kegiatannya. Dia berpikir, menyusun rencana serta mengadakan perbincangan penting bersama saudaranya mengenai cara untuk mewujudkan serta cara memobilisasi masyarakat dan narasumber.
Al-Attas menyebutkan bahwa ketika jiwa menemukan suatu makna dan makna itu telah sampai ke dalam jiwa, maka disebut sebagai saat-saat konvergensi. Masa ini biasanya terjadi usai adanya proses pencarian beberapa lama atau proses kontemplasi. akan tetapi, Al-Faruqi tidak mencurahkan pikirannya dalam hal ini secara tiba-tiba, tetapi pemikiran tersebut ditelusuri melalui perkenalannya dengan ide-ide Al-Attas dari berbagai diskusi dan bacaan aktual yang bersumber dari tulisan Al-Attas yang di dalamnya dibahas tentang pemikiran umat Islam karena sekularisasi, keterputusan dari khazanah juga westernisasi.
Al-Faruqi mengatakan bahwa tidak ada umat muslim yang memikirkan betapa pentingnya islamisasi ilmu, mengerti akan syarat-syaratnya serta mendiskusikan langkah-langkahnya, setelah itu Al-Faruqi membuat kesimpulan bahwa itu merupakan penyebab mengapa Al-Faruqi mengingatkan dunia islam akan terjadinya sesuatu yang buruk yaitu konflik antara ilmu dari barat dan pandangan Islam. Untuk pertama kalinya dalam sejarah ada agenda untuk mencoba menjabarkan dan memerangi akibat-akibat buruk konflik tersebut demi menghadirkan kembali pendidikan Islam yang benar . Pada bait terakhir makalah Al-Faruqi mengulangi mengenai islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu prakarsa yang benar-benar baru dalam dunia islam.
Syed Naquib Al-Attas pernah meminta ketersediaan Al-Faruqi untuk mengisi kuliah di Malaysia sambil memperkenalkannya di kalangan intelektual dan aktivis Muslim setempat seperti tokoh ABIM (angkatan belia Islam Malaysia). Dari situ dapat kita simpulkan bahwa ada persahabatan antara Al-Attas dan Al-Faruqi, Pada saat kedatangannya ke Malaysia itulah Al-Faruqi mendengar cetusan proyek islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer dari Al-Attas, tetapi saat itu Al-Faruqi belum memahami elemen dan implikasi konsepnya.
Selanjutnya pada diskusi diskusi yang dilaksanakan oleh Al-Faruqi dan Al-Attas di berbagai negara seperti Malaysia dan filadelphia memberikan pengaruh positif dan mendasar pada kegiatan intelektual Al-Faruqi khususnya di AMSS (association of muslim social scientist).
Di forum AMSS juga Al-Faruqi pernah mengundang Al-Attas untuk menjadi pembicara dan setelahnya menulis surat untuk mengucapkan terima kasih. Al-Faruqi menyatakan anggota dewan eksekutif dan sahabat Muslim dimintai keterangan tentang presentasi dari Al-Attas pada pertemuan tersebut. Mereka menyatakan bangga pada Al-Attas dan prestasi yang beliau capai yaitu stimulasi mengenai berpikir islami dan kontribusi terhadap warisan pemikiran serta tujuannya. Pada surat tersebut Al-Faruqi menyatakan harapannya agar ide brilian tersebut bisa direalisasikan.
Banyak karya Al-Faruqi yang mulai terpengaruhi oleh konsep adab Al-Attas, padahal sebelumnya tidak ditemukan pada buku-buku yang ditulisnya. Al-Faruqi secara terang-terangan menunjukkan sorotannya terhadap konsep adab seperti pada catatan kaki di paragraf pertama mengenai kebudayaan. Pada karyanya itu Al-Faruqi tidak menerjemahkan kebudayaan dengan bahasa Arab "tsaqofah" (tingkah laku yang baik), melainkan menggunakan kata ada yang artinya "husn" (keindahan atau kebaikan). hal ini sering dikutip oleh Al-Attas mengenai sabda nabi yang berbunyi "Addabani Robbi Faahsana Ta'dibi."
Di tahun itu juga konflik dan isu yang ada menyadarkan Al-Faruqi tentang pentingnya usaha-usaha filosofis yang intensif ke arah islamisasi ilmu pengetahuan modern atau kontemporer masih belum sepenuhnya muncul di dalam pikirannya. Pada artikel pendek Al-Faruqi menyatakan bahwa spiritualitas sebagai aspek ilmu sosial yang valid sangatlah penting, beliau juga memberi saran pada para ilmuwan dan sosialisa muslim untuk dilatih di bidang aksiologi, deontologi, teologi, serta estetika supaya kemampuan nya dalam memahami nilai-nilai bisa berkembang.
4. Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nashr adalah salah seorang Cendekiawan muslim kontemporer yang sangat termasyur. Dia sebenaranya dapat dianggap sebagai Cendekiawan Muslim dalam bidang sejarah sains Islam yang terkenal pada zaman modern ini. Karya karya kreatifnya dalam pelbagai topik berkisar pada aspek-aspek sejarah filsafat Islam, sains dan tasawuf, serta pelbagai aspek filsafat perenial ,seperti yang di sampaikan oleh Rene Guenon, A.K. Coomaraswamy dan frithjof Schuon .Karya-karyanya itu telah diterjemahkan dan disebarkan dalam bahasa. Meskipun sangat sadar akan bahaya sekularisme dan moderisme Nasr tidak pernah mendefinisikan yang pertama ;dia hanya menggeneralisasikannya. Dia menyampaikan konsep tradisionalisme secara ekspresif dalam pengertian yang sangat luas dengan mengikuti alur filsafat perenial. Implikasi
sekularisme ,menurut Nasr,’’adalah ide-ide dan institusi-institusi murni yang berasal dari manusia ,dan tidak diderivasi dari suatu sumber inspirasi, apapun bentuk asalnya. Dalam pelbagai karya yang kami tulisan pada 1960-an kami menyinggung program sentral mengenai perlunya mengislamisasikan (Islamicizing) ilmu pengetahuan yang dihdapi umat Islam di dunia modern ini. panggilan ini kemudian diambil dan didiskusikan oleh Nquib AL-attas dan pada tahun -tahun terakhir ini menjadi perhatian sentral almarhum Isma’il Al -faruqi dan sejumlah cendekiawan muslim.Namun ,setelah kami cek daftar bibliografi lengkap karya karyanya terdahulu antara1958-1996,kasesuatu kami tidak menemukan sesuatu yang secara langsung mendukung Klaim-klaimnya. Dalam salah satu karya utamanya terdahulu ,An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, dia hanya menunjukkan secara implisit metode untuk mengislamkan sains modern dengan menyarankan agar sains modern diinterpretasikan dan diaplikasikan kedalam “konsepsi Islam mengenai kosmos”.
Dalam diskusinya mengenai sekurarisasi, Nasr membahas secara ekstentif fenomena desakralisasi ilmu pengetahuan dan menjelaskan secara meyakinkan perkembangannya dalam sejarah intelektual dan rerigius Barat. Dalam karyanya, Traditional Islam in the modern World (1987),dia memberikan komentar mengenai pelbagai usaha ”mengislamisasikan kembali sistem pendidikan islam”dan islamisasi pelbagai disiplin ilmu, dan di situ dia menyebutkan Usaha-usaha kelompoknya yang cenderung “tradisonalis daripada fudamentali”,tetapi sayang sekali dia tidak merujuk pada satu pun karyanya sendiri yang terdahulu.
Dalam diskusinya mengenai sekularisasi, Nasr membahas secara ekstensif fenomena desakralisasi ilmu pengetahuan dan menjelaskan secara meyakinkan perkembangan dalam sejarah intelektual dan rerligius Barat. Dalam karyanya, Knowledge and the Sacred ,dia membahas hubungan antara desakralisasi ilmu pengetahuan yang di formulisasikan dan perkembangan bentuk bahasa yang menemukan dan antimetafisis dan mekanik di Barat. seperti yang telah kami sebutkan di beberapa tempat dalam buku ini, AL-attos telah menemukan dan menjelaskan secara konsisten peranan bahasa dalam proses islamisasi dan deislamisasi atau sekularisasi. Oleh karena itu mereka termasuk di dalam alam semesta Islam dan tidak dianggap bertentangan dengannya .Sedangkan Nasr sesuai dengan gerakan Kesatuan Transenden Agama-agama ,berpendapat bahwa tidak satu agama pun termasuk Islam, yang dapat mengklaim memiliki kebenaran absolut ,dan pernyataan bahwa esensi semua agama adalah Keesaan Tuhan, bagi Nasr ,adalah pendapat yang di pegang secara autentik oleh sufisme dalam Islam
5. Reaksi-Reaksi Lain
Tidak sedikit penulis yang berkepentingan mengekpresikan pendapat mereka mengenai islamisasi ilmu pengetahuan komtemporer. Muhsin Mahdi,seorang filsafat islam terkenal dan ahli historiografi dari Harvard, membahas isu ini secara tidak langsung dengan merujuk pada usaha – usaha umat islam terdahulu ,bukan sebagai islamisasi, melainkan sebagai harmonisasi Antara ilmu agama dan non agama atau ilmu rasional. Lainnya,seperti Abdus Salam, peneima hadiah nobel dalam bidang fisika, dan Abdul Karim Soroush, seorang penulis Irlan radikal,menolak sama sekali ide ini,sementa yang lain menganggapnya sebagai bagian dari reaksi dunia ketiga terhadap kolonialisme barat,suatu aspek dan fundamentalisme islam.
Kami membahas pemikiran Mahdi karena ketika berada di IIIT ( Internasional Institude Of Islamic Thought ), Herdon Virgia, dia berbicara mengenai hubungan Antara keyakinan agama dan keyakinan ilmiah yang berkaitan langsung dengan islamisasi Ilmu pengetahuan yang merupakan perhatian utama IIIT. Seperti juga Abdus Salam Soroush, Mahdi menolak ide ilmuislam sebagai suatu istilah yang telah dipakai sekarang.Soroush sebenarnya mengangkat isu bahwa istilah “Filsafast Islam” tidak pernah digunakan oleh filosof muslim dari Ibn sma hingga mula shadra.sebenarnya, Soroush lebih terus - terang lagi dengan mengatakan bahwa istilah filsafat islam kemudian diperluas menjadi ilmu islam,pada hakikatnya adalah penemuan barat.
Pada masa lalu, islam tidak menggunakan istilah “Islam” sebab merka adalah penguasa dunia; mereka tidak mendapatkan tekanan dari kekuatan luar; dan masalahnya bagi kebanyakan mereka sudah terlalu jeas. Mahdi juga beranggapan bahwa ide kontemporer mengenai ilmu islam adalah suatu usaha untuk mengaplikasikan formulasi filsafat khas Kristen.
Soroush mengumumkan 4 argumen utama untuk mempertanyakan ide islamisasi ilmu pengetahuan:
a. Argumentasi dari segi metode
Contohnya: Metode-metode empiris, logis, dan metafisi atau demonstrative tidak dapat diislamkan.
b. Argumentasi dari sisi kebeneran
Karna kebeneran adalah kebeneran ia tidak dapat diislamkan.
c. Argumentasi dari masalah/persoalan ilmiah
Karna persoalan ini tidak berkaitan dengan konteks religio-kultural dan histori, terbuka kemungkinan untuk mengislamkan persoalan tersebur.
d. Argumentasi dari pemikiran
Karna baik yang berupa “pertanyaan” atau teori atau metode, prinsip-prinsip metodologis, mau pun nulai-nilai”.
Pemikiran utama soroush lainnya adalah ilmu yang telah diislamkan tidak berarti menjadisempurna juga sejalan dengan pendapat Mahdi ( ilmu yang bersesuanian dengan agama dalam berbagai segi ), fazlur Rahman, dan syeikh idris, meskipun dalam bentuk yang berbeda, ini adalah poin yang telah diakui oleh muslim tradisional. Kebanyakan penulis yang menolak ide islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer tampaknya mengesampingkan fakta yang jelas bahwa semua ilmu filsafat dan agama-agama adalah realitas yang berkerja pada melalui individu-individu.
6. Sifat Ganda Islamisasi
Salah satu reaksi paling keras terhadap program islamisasi ilmu pengetahuan datang dari mereka yang berlatar belakang ilmu politik dan sosiologi Bassam Tibi ,misalnya, mengartikan program ini, secara natural, sebagai suatu bentuk indigenisasi atau pribumisasi (indigenization) yang berhubungan secara integral dengan strategi kultural fundamentalisme islam. Ia dianggap sebagai suatu penegasan kembali ilmu pengetahuan lokal untuk menghadapi ilmu pengetahuan global dan invasi kebuduyaan yang berkaitan dengan itu, yakni “dewesternisasi”. Tentunya islamisasi bukanlah suatu proses pilihan “ini atau itu”, melainkan lebih cenderung bersifat ganda dan memiliki dua aspek. Oleh karna itu tidak benar ketika mengartikan islamisasi sebagai pribumisasi dan tidak menekankan pada dimensi universalnya, islam bukanlah “lokal” dan bukan pula “etnis”, yaitu istilah istilah yang lekat dengan istilah pribumisasi (indigenization). Yang jelas islamisasi tidak dapat diartikan sebagai pribumisasi , Konsep islamisasi dan praktiknya dalam sejarah adalah integrasi dan universalisasi yang partikular ke dalam suatu keseluruhan yang lebih luas, sedangkan pribumisasi adalah partikularisasi dan pemecahan keseluruhan ke dalam bagian-bagian yang terpisah secara independen.
Karena islamisasi semacam universalisasi, kami tidak pernah melihat di sepanjang sejarah islam suatu usaha yang dilakukan oleh masyarakat islam untuk menjadikan konsep Allah dan Rasul-Nya bersifat indigenos (lokal) agar sesuai dengan kekhususan kultural, etnis, dan liguistik mereka. Penolakan Al-Attas dan yang lainnya dengan membongkar dasar dasar filsafat dan implikasi moral ilmu sekuler modern yang sejak dua abad lampau dikuasai barat, bukanlah penolakan total terhadap ilmu modern, atau barat atau sekuler, melainkan hanya pada aspek-aspeknya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pandangan dunia, dan etika islam
Isu mengenai konsep universal (kull atau dalam pengertian sempitnya amm) dan partikular atau lokal (khashsh) yang merupakan bagian dari prinsip tafsir, tidak berarti (khashsh) adalah bentuk pribumisasi (indigenization), tetapi lebih merupakan suatu instansi kull atau amm . pencampuran elemen pelbagai agama , sebagai produk dari sinkretisme agama, misalnya, bukanlah bentuk penerapan ajaran islam dan konteks lokal yang dapat di terima sebab hal itu adalah murni indigenisasi (pribumisasi), bukan islamisasi.
Islam adalah satu agama yang memperbolehkan adanya diversitas dalam lingkup pandangan dunia keagamaannya. Di dalamnya terdapat tingkatan islamisitas berdasarkan kemampuan intelektual , perilaku moral, dan pencapaian spiritual seseorang.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Semestinya sudah jelas bagi para pembaca , yang tidak serius sekalipun bahwa filsafat dan metodologi pendidikan Al-Attas mengarah pada satu tujuan fundamental, yaitu islamisasi pikiran, jiwa, dan raga serta efek-efeknya terhadap kehidupan umat islam dan umat lain secara individual maupun kolektif, termasuk elemen-elemen nonmanusia yang bersifat spiritual dan fisikal di lingkungan mereka. Selain apa yang telah di bshas dalam bab-bab terdahulu, rasanya masih ada manfaatnya bagi kita untuk meringkas beberapa contoh praktis islamisasi ilmu pengetahuan masa kini, yaitu suatu konsep yang benar benar kuat yang telah dia pahami dari dimensi historis dan konseptual, kemudian dia definisikan, kembangkan, dan aplikasikan ke dalam pelbagai cabang dan disiplin ilmu yang menjadi bidangnya, identifikasi elemen-elemen dan karakteristik yang fundamental dari jiwa dan pandangan hidup barat yang berlawanan dengan islam, yaitu pandangan dualistisnya terhadap realitas ideologinya yang sekuler, filsafat nya yang humanitis dan konsep kehidupannya yang tragis.
Ketika program islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer dan institusinya ini di pahami dan disebarkan dengan benar serta diterapkan dengan bijaksana, ia memiliki kemampuan yang unik dalam proses universalisasi prinsip prinsip keagamaan dan etika-hukum ,serta dalam mempersatukan pelbagai golongan umat manusia di sekitar mereka, yang mampu menerobos rintangan-rintangan linguistik, rasial, sosial-ekonomi, gender, bahkan religius, mungkin karena prestasi historis (umat islam) dan potensinya untuk berulang kembali, beberapa kelompok sekularis berhati-hati terhadap revolusi epistemologis yang kuat ini . para paham sekuler merasa bahwa klaim-klaim yang mereka anggap universal akan terancam bahkan ditinggalkan oleh agenda global islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer.
DAFTAR PUSTAKA
Wan Mohd Nor Wan Daud, filsafat dan praktik Pendidikan islam syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: penerbit mizan 1, juli 2003
No comments:
Post a Comment
Hanya anggota Blog Yang Dapat Memberikan Komentar, Komentar yang belum tampil akan dicek terlebih dahulu oleh Admin.
Terima Kasih Atas Komentarnya