MAKALAH
KURIKULUM DAN METODE METODE PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-ATTAS
Ditujukan untuk memenuhi mata kuliah Filsafat
Dosen pengampuh: Fahmi Irhamsyah, M. pd, CPD
Disusun Oleh :
Siti Nur Jannah ( 220410228 )
Maritza Nur Putri Anandi ( 220410105 )
Susan Ayu Sipa ( 220410229 )
Devika Putri Rahmadani ( 220410205 )
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYYAH (STIT) FATAHILLAH
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR
Dengan segala puji bagi Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang kami panjatkan puja dan puji syukur atas ke hadirat - Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayat,dan inah – Nya kepada kami. Tak lupa sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar nabi kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukan kepada kita jalan yang lurus dan menjadi anugrah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.
Makalah ini kami susun bertujuan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah pancasila, yang bertujuan Memerikan Kemurnian dalam memahami sejarah repuplik Indonesia agar dapat menumbuhkan rasa nasionalisme, patriotisme, dan rela berkoran demi tanah air tercinta.
Kami pun ucapkan anyak terimakasih kepada dosen yang sudah membimbing kami sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini, terlepas dari itukami menyadari banyak kekurangan dalam penyususan makalah ini, sehingga kami menerima jika ada keritik saran untuk memperbaiki makalah ini.
Demikian yang kami dapat sampaikan, apabila ada susunan kalimat dan bahasa yang kurang baik kami mohon maaf , akhir kata semoga makalah yang berjudul “KURIKULUM DAN METODE PENDIDIKAN SLAM MENURUT AL-ATTAS ” ini dapat memberikan kemanfaatan dan insfirasi kepada pembaca.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………….…………...i
DAFTAR ISI……………………………….…………………………….….……....1
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………..…........2
Latar Belakang ………………………………………………..……….……....2
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………3
II.1. Persiapan Spiritual……………………………………………………….…...3
II.2. Otoritas Dan Peranan Guru………………………………………………….4
II.3. Hierarki Ilmu Pengetahuan…………….………………………………….....4
II.4. Peranan Bahasa…………………………………………………………....….5
II.5.Metode Tauhid…………………………………….…………………………...6
II.6.Metafora Dan Cerita…………………………………………………………..10
BAB III PENUTUPAN……………………………………………………………..14
Kesimpulan……………………………………………………………..…...14
Daftar pustaka…………………………………………………..…………..15
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Perlunya mengadakan penataan kembali dalam pendidikan Islam dari segi konseptual, sebenarnya telah lama disadari dan diupayakan oleh umat Islam. Namun, kemunduran ini menjadi perlambang kelalaian dalam merumuskan dan mengembangkan rencana pendidikan yang sistematis berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang telah dijelaskan oleh para penafsir-penafsir besar Islam masa lalu. Memperhatikan kenyataan ini, tentunya sangat perlu dicarikan akar penyebab persoalannya, apakah yang menjadi sebab kelemahan, kemunduran dan stagnasi kondisi umat Islam selama ini.
Muhammad Naquib al-Attas merupakan salah seorang pemikir Islam yang cukup kesohor dewasa ini. selain dikenal sebagai pengkaji sejarah, teologi, filsafat dan tasawwuf, sosok Naquib al-Attas juga dikenal sebagai pemikir pendidikan Islam yang cemerlang. Ia bersama barisan cendikiawan Muslim lainnya seperti, Syed Ali Ashraf, Ziauddin Sardar,
Hamid Hasan Bilgrami, ,VPD·LO Raji al-Faruqi, mencemaskan realitas pendidikan Islam yang berjalanini.
Naquib al-Attas bagi sebagian masyarakat awam tidak terlalu dikenal, tetapi dikalangan akademisi yang pernah membaca buku-bukunya yang diterjemahkan langsung ke Bahasa Indonesia, pasti mengenalnya. Sisi terpenting dari sosok al-Attas ini adalah gagasan tentang perlunya islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, yang kemudian dipopulerkan
oleh IVPD·LO Raji al-Faruqi.
Dalam memetakan trend pembaharuan pemikiran Pendidikan Islam, para intelektual Muslim di dunia Islam memiliki kecenderungan yang berbeda-beda, tetapi terdapat dua trend pemikiran yang menonjol dari kalangan intelektual Muslim yakni; bersifat internal dan eksternal. Bersifat eksternal yaitu upaya pembaharuan yang dilakukan dengan berangkat dari identifikasi penyebab kemunduran umat berdasarkan pengamatan fenomena sosial, politik, ekonomi, teknologi dan lain-lain. sementara bersifat internal yakni upaya pembaharuan yang bertolak dari pencarian penyebab kemunduran umat secra internal dari pemahaman yang insten serta perenungan yang mendalam mengenai makna Islam itu sendiri
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERSIAPAN SPIRITUAL
Kata kurikulum berasal dari bahasa Yunani curir = pelari dan curere= lintasan lari atau lintasan pacu Jika diartikan secara singkat kurikulum yaitu track atau jalan yang harus di tempuh untuk mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan metode pendidikan yaitu cara yang di lakukan untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan menurut Al Attas : untuk menciptakan manusia yang baik dan beradab.
Adab mencangkup suatu pengenalan dan pengakuan mengenai kualitas, sifat-sifat dan perilaku yang baik untuk mendisiplinkan pikiran dan jiwa, penonjolen perilaku yang benar dan tepat sebagai kebalikan dari tingkah laku yang salah dan tidak sesuai.
Prinsip dasar pendidikan
1.persiapan spiritual
khwan al Shafa pada akhir abad ke-10 mengingatkan akan terjadinya kegagalan jika pengetahuan hanya di cari berlandaskan tujuan duniawi.
Menurut abu Sa'id Al kharaz mengatakan bahwa salah satu prinsip pendidikan meliputi : konsep keihklasan, kejujuran dan kesabaran
Menurut Al kharaz ikhlas berarti seseorang harus mendasarkan segala perbuatannya hanya karna allah ,secara lahiriah dan batiniah ,dengan akal dan pengetahuan yang melindungi jiwa dan hatinya serta terus menerus mengawasi tujuannya .
Kejujuran menurut Al Attas adalah sifat dari ucapan atau pernyataan seperti keseuaiannya dengan fakta-fakta ekternal dan realitas dan yang tak kalah penting adalah kesesuaian niat dalam hati. Kesabaran adalah menahan diri dari dalam melakukan apa yang dibenci oleh jiwa (ihtimal makruh al-nafs).
Kesabaran terbagi 2 tingkat :
Kesabaran dalam menjalankan segala yang diperintahkan Allah dalam kehidupan sehari-hari
3
Kesabaran dalam meninggalkan segala yang di larang Allah dan dalam menahan nafsu
Disamping kedua tersebut ada 2 hal yang lain
Kesabaran dalam menjalankan kegiatan-kegiatan spiritual dan amal ketakwaan untuk mencari kesempurnaan di dunia
Kesabaran dalam menerima kebenaran dari sumber manapun
B.Otoritas Dan Peranan Guru
Kebergantungan pada otoritas dan peranan guru
Salah satu aspek penting dalam pendidikan islam adalah pencarian dan pengakuan otoritas yang benar-benar dalam cabang ilmu dan pengetahuan.
Otoritas tertinggi yaitu Al-qur’an dan nabi yang diteruskan oleh sahabat dan ilmuan yang mengikuti sunnah-sunnahnya, memiliki derajat pengentahuan, kebijaksanaan dan dan pengalaman spiritual yang selalu memperhatikan pada tingkatan ihsan. Hal yang perlu diperhatikan ketikan berhadapan dengan otoritas ini adalah sifat rendah hati, hormat ikhlas dalam menerima sikap intelektual mereka, memiliki kemampuan untuk menafsirkan dan menjelaskan disamping juga dapat mencurahkan kasih saying terhadap mereka.
Oleh karena itu peranan guru sangat penting disaran kan untuk tidak tergesa-gesa belajar pada sembarang guru, sebaik nya peserta didik harus meluangkan waktu untuk mencari siapa guru terbaik dalam bidang yang ia gemari.
C. Hierarki Ilmu Pengetahuan
Al-Attas berpendapat secara konsisten bahwa muatan Pendidikan itu sangat penting dan karena itu merupakan prioritas tertinggi dibandingkan metode nya, yang harus direncanakan dan di implementasikan bukanlah metodologi Pendidikan, yang tampak nya telah menjadi pusat perhatian mereka yang dikenal sebagai ahli Teknik-teknik pengajaran seharusnya bukan objek utama usaha kita untuk merencanakan system Pendidikan yang koheren dan rasional melainkan muatan dari apa yang diajarkan
4
D.Peranan Bahasa
Al Attas mungkin adalah pemikir pertama di kalangan muslim yang menyatakan bahwa sarana utama islamisasi bangsa Arab pra-Islam adalah islamisasi bahasa Arab itu sendiri. Demikian pula de-islamisasi dan sekularisasi pemikiran muslim juga berlangsung secara efektif. Melalui aspek linguistik yaitu melalui sekularisasi semantik terhadap konsep dan termiologi Islam. Berita yang benar (khabar shadiq) adalah salah satu sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, di samping pancaindra (hawds Al - khamsah), akal (al- 'aql al-salim), dan intuisi (Ilham). Komunikasi antara berita yang benar (khabar shadiq) dan penafsiran sumber tulisan ataupun verba dari semua saluran ilmu lainnya hanya akan membuahkan hasil jika kedua pihak yang terlibat memahami makna yang benar dari pesan yang disampaikan. Al Attas mengharapkan kaum terpelajar muslim dapat memusatkan perhatian pada misteri bahasa terutama bahasa Arab dan bahasa Islam serta bahasa asing penting lainnya sebagai alat transmisi dan pencarian ilmu pengetahuan kebenaran 5
E. Metode TauhidSalah satu karakteristik pendidikan dan epistemologi Islam yang dijelaskan secara tajam dan dipraktikkan oleh Al Attas adalah apa yang dinamakannya sebagai metode tauhid dalam ilmu pengetahuan. Dia mengamati bahwa seluruh sejarah kebudayaan, keagamaan dan intelektual Islam tidak terdapat zaman khusus
Al Attas menemukan, bahwa seluruh representasi tradisi Islam juga telah mengaplikasikan berbagai metode di dalam penyelidikan mereka seperti religius dan ilmiah, empiris dan rasional, deduktif dan induktif, subjektif dan objektif tanpa menjadikan salah satu metode lebih dominan dari yang lain. Al Attas menekankan dan menerangkan di beberapa tempat bahwa yang objektif dan subjektif tidak dapat dipisahkan. Sebab hal itu merupakan aspek dan realitas yang sama sehingga satu sama lain saling melengkapi. Dia juga sering memberikan perumpamaan bahwa seorang arsitek akan dapat bersikap objektif jika mengetahui rumah yang telah didesain seperti bentuk, tinggi, lebar panjang tiap bagian, sebagaimana mengetahui materi dan segala sesuatu yang diperlukan. Namun, dia tidak akan mengetahui keadaan yang sebenarnya dari rumah itu sebelum berdiam di rumah tersebut, hanya dengan mendiami rumah tersebut dia dapat mengetahui ruangan mana yang lebih nyaman. Penilaian subjektif ini tidaklah menghilangkan aspek luarnya yang objektif dari pengetahuan mengenai rumah
Metode tauhid Al Attas sangat pribadi di mana ia sering menekankan bahwa tak ada dikotomi antara apa yang dianggap teori dan praktik jika benar-benar mengetahui teori seperti yang dijelaskan dalam bab 3 seorang mestinya mampu melaksanakannya dalam praktik kecuali jika terhalang oleh sebab-sebab eksternal yang tak dapat dielakkan
Pancaindra, Akal dan Intuisi
Sejalan dengan Ibn Sina, Al-Ghazali dan banyak tokoh Islam terkenal lainnya. Al Attas membenarkan adanya kemampuan psikologi yang ada dalam konsepsi Islam mengenai jiwa manusia dan proses kognitif, kemampuan tersebut diletakkan sesuai dengan peranannya yang tepat mengakuivalidasi berbagai saluran ilmu pengetahuan seperti panca indra yang benar, akal sehat dan intuisi yang digabung dalam akidah. Jiwa adalah empat realitas tunggal
6
dengan empat keadaan (ahwall modes) yang berbeda, seperti intelek ('aql), jiwa (nafslsoul), hati (qalblheart) dan ruh (spirit) yang masing-masing terlibat dalam kegiatan manusia yang bersifat kognitif, empiris, intuitif dan spiritual.
Singkatannya kemampuan-kemampuan yang saling berhubungan ini mempresentasikan realitas tunggal jiwa manusia, yaitu jiwa vegetatif (al-nabatiyyah), jiwa hewani (al-hayawaniyyah) dan jiwa rasional (al-nathiqah). Jiwa manusia memiliki lima Indra eksternal dan internal. Salah satu Indra eksternal adalah perasaan untuk meraba, merasa, mencium, melihat dan mendengar yang dapat menerima data praktikular dari dunia dan pengalaman indrawi. Sedangkan yang pertama dari lima Indra internal commo sense (al-his musytarak) yang mengumpulkan data yang diberikan oleh Indra eksternal kemudian mempersatukannya data itu dalam suatu penginderaan umum proses persepsi.
Menurut Al Attas istilah bahasa Inggris kontemporer common sense, berasal dari bahasa Latin, communis sensus, yaitu pemakaian populer yang selalu merujuk pada "sesuatu yang sangat nyata dan jelas" Al Attas mengatakan bahwa istilah Latin tersebut adalah terjemahan dari istilah asli bahasa Arab, al-musytarak. ketika common sense tidak dapat menyimpan data, tugas fakultas representasi(al-khayaliyyah) adalah menyimpan imej tapi penilaian terhadapnya dibuat oleh fakultas estimasi (al-wahmiyyah) terhadapnya dibuat oleh fakultas estimasi (al-wahmiyyah). Bahkan setelah itu, fakultas estimasi hanya menilai dengan cara imajinatif dan instruktif tanpa analisa analisis intelektual dan bantuan ingatan (memori). Fakultas ingatan dan rekoleksi (al-hafizhah dan al-dzakirah) inilah yang menyimpan dan mengumpulkan kembali bentuk-bentuk dan makna-makna fakultas estimasi bertindak. Fakultas yang kelima adalah fakultas imajinasi (al-mutakhiyyah) yang kemudian memiliki dua fungsi, imajinasi indriawi (mutakhayyil) yang bertanggung jawab terhadap produk-produk teknis dan artistik manusia dan imajinasi rasional (al-muffakkirah) yang bertanggung jawab kepada semua kegiatan intelektual. Al Attas menerangkan bahwa karena imajinasi rasional inilah para saintis mengembangkan, misalnya DNA (deoxyribonucle acid) sebagaimana model struktur atom.
7
teknologi dan etika menurut Islam bukanlah semata-mata berdasarkan kebenaran intelektual, melainkan yang lebih penting, berdasarkan realitas spiritual yang harus dilengkapi dengan perilaku religius dan etika serta latihan-latihan spiritual
Al Attas mempergunakan argumentasi dari riwayat yang shahih dan sumber-sumber wahyu. Al attas tidak membuat garis pemisah antara domain spiritual, intelektual, saintifik. Dia menganggap Al-quran dan hadis nabi sebagai samudra ilmu pengetahuan dan hikmah yang tak terbatas.
Teolog muslim dan sufi intelektual telah menafsirkan secara benar bahwa seluruh alam semesta ini tidak permanen dan tidak continue ia selalu ditiadakan dan diciptakan lagi menjadi baru. Bagi Al attas, tujuan yang ikhlas, integritas moral, kontemplasi, atau berpikir dan doa itu sangat vital dalam mencari ilmu pengetahuan dan pemahaman yang benar. Berpikir baginya adalah proses spiritual dari gerakan jiwa menuju makna.
Karena menerima peranan persepsi indriawi dalam proses mengetahui alam, Al Attas mencontohkan penggunaan metode empiris sebagai salah satu metode yang valid dalam pendidikan Islam. Al Attas menerangkan dia telah mencapai kesimpulan bahwa problem yang paling mendasar bagi umat Islam adalah kerancuan ilmu pengetahuan yang disebabkan oleh keterlibatan aktif dalam pergaulan masyarakat muslim perkotaan, khususnya pendidikan tinggi tempat mereka dijejali kultur barat selama lebih dua dekade. Dia secara tajam mengamati bahwa hal ini berhubungan dengan isu lain yang lebih fundamental, yaitu ketiadaan adab, sekularisme sebagai program filsafat dan islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer
Dia juga mencatat bagaimana pandangan dunia Islam telah dikacaukan ketika istilah dan konsep kunci yang berkaitan dengannya telah kehilangan makna-makna spiritualnya dan signifikasinya terhadap semua bahasa umat Islam
Walaupun pentingnya pengalaman empiris sebagai saluran ilmu pengetahuan yang absah, Al Attas dia bertegang pada pendapat yang saat ini berlaku di Barat, bahwa kebenaran semata-mata merupakan hubungan antara proposisi dan fakta-fakta empiris, sebab kata-kata itu dapat ditemukan dan
8
menjadi palsu jika ditempatkan pada tempat yang salah, seperti operasi plastik dari laki-laki menjadi perempuan ataupun sebaliknya.
Al Attas berpendapat bahwa nggak semua fakta itu penting dalam peranan sejarah, persis fakta riil bahwa lubang pori-pori yang basah pada wajah seorang wanita, bukanlah hal yang penting bagi seseorang yang mengagumi kecantikannya.
para sejarawan katanya harus memilih fakta yang relevan dan berarti, dan makna suatu fakta atau sesuatu yang hanya akan benar jika konkrit dengan visi Islam terhadap realitas dan kebenaran sebagai makna diproyeksikan sebagai sistem konseptual Alquran. Namun pendidikan harus mendorong siswa-siswanya agar dapat membuktikan klaim kebenaran dengan argumentasi rasional dan empiris
Seperti semua pencari dan penyingkap kebenaran yang serius Al Attas mengharuskan penggunaan akal secara benar dan tepat, sebab ia merupakan saluran yang paling valid bagi sampainya ilmu pengetahuan yang pasti. Dengan cara seperti inilah, Al Attas membongkar semua lapisan argumentasi dan mengupas klaim-klaim yang kabur dari para penganut transendence unity of religion (kesatuan transenden agama-agama). Tidak ada kesatuan-kesatuan transenden agama, sanggahnya. Jika yang dimaksud satuan (unity) di sini adalah keuntuhan/keesaan (oneness) atau kesamaan (sameness) sebab seluruh agama di dunia ini jelas tidak sama.
Selanjutnya Al Attas menerangkan bahwa pada tingkat ontologis transenden, Tuhan mesti dikenal sebagai Rabb (Tuhan yang mencipta) oleh semua makhluk tapi tidak mesti diketahui dan disembah sebagai ilah. Bahkan pada level ini pun sebenarnya masih terdapat kesalahan dan kepalsuan seperti dalam kasus iblis
Politisi dan teknokrat masa kini telah membuat sinyalemen-sinyalemen mengenai pentingnya kreativitas dalam pendidikan. Namun sayangnya mereka mengetahui dan menganggap aktivitas seseorang itu bisa disebut kreatif hanya jika berasal dari imajinasi indriawi, yang berkaitan dengan teknologi, kesenian dan kerajinan tangan. Jadi pelajaran berpikir di sekolah-sekolah dibatasi pada masalah yang berkaitan dengan teknologi.
9
Teknologi, seperti juga kesenian, adalah produk imajinasi jiwa yang bersikap indriawi (sensitve), bukan imajinasi yang bersikap kognitif. Al Attas pada hakikatnya tidak menolak pentingnya pelatihan dan pengembangan aspek manusiawi ini, tetapi baginya hal ini harus merupakan hasil pengembangan jiwa kognitif sebelumnya jika tidak, hasil pengembangannya menjadi kasar, liar dan tragis. Dia mengingatkan bahwa apa yang dinamakan pembangunan di beberapa negara Islam saat ini tidak adanya kesehatan sosial, kultural dan lingkungan serta kesejahteraan. Diantara ciri-ciri kebudayaan adiluhung pada masa lalu yang abadi dan berbobot adalah adanya integrasi antara jiwa imajinasi kognitif dan indriawi yang secara khusus tepat di berbagai karya keagamaan, yang didorong semangat keagamaan
F. Metafora Dan Cerita
Penggunaan Metafora dan Cerita
Adalah sesuatu yang wajar bahwa para ulama, khususnya para sufi (sebagaimana digambarkan oleh Izutsu, yang mengamati kecenderungan yang serupa pada kalangan cerdik pandai di Timur) menggunakan cara ini sebagai integral dari pedagogi mereka. Untuk menjelaskan realitas alam fenomena vis-a-vis hakikat realitas Tuhan yang fundamental, para sufi banyak menggunakan metafora.
Salah satu metafora yang paling sering diulang-ulang oleh Al attas adalah metafora papan petunjuk jalan (signposs) untuk melambangkan sifat teologis alam dunia ini, yang sering dilupakan oleh orang, khususnya para ilmuwan. Dunia ini bagaikan papan petunjuk jalan yang memberi petunjuk kepada musafir, arah yang harus diikuti serta jarak yang diperlukan untuk berjalan menuju tempat yang akan dituju. Jika papan tanda itu jelas (muhkam) dengan kata-kata tertulis yang dapat dibaca menunjukkan tempat dan jarak, sang samusafir akan membaca tanda-tanda itu dan menempuhnya tanpa masalah apa-apa. Namun bayangkan, kata Al Attas dalam berbagai kesempatan, "jika papan tanda itu terbuat dari marmer yang dibentuk dengan indah, tangan yang menunjuk itu diukir dalam bentuk yang sempurna lagi menakjubkan, nama-nama tempat dan jarak masing-masing terbuat dari serpihan emas murni yang dirancang menjadi huruf-huruf yang dirangkai dengan batu-batu permata" sudah tentu, sang musafir akan berhenti di situ dan mencermati, mengagumi dan
10
menyelidiki berbagai aspeknya, tidak hanya komponen dan desain materialnya, tapi asal usul masing-masing serta
kemungkinan-kemungkinan nilai-nilai ekonomisnya. Dalam keadaan demikian, papan tanda itu tidak lagi menunjukkan arah yang berguna bagi sang musafir, sebab arti tanda-tanda itu tidak jelas, tetapi ambigu (mutasyabih). Tanda-tanda itu tidak menunjukkan makna yang berada di balik simbol-simbol tersebut, tetapi kepada dirinya sendiri. Seperti juga papan tanda, dunia ini diharapkan menunjukkan makna-makna dan realitas realitas di balik lambang-lambangnya dan kajiannya serta penyelidikan kita mengenai dunia ini hendaknya untuk memahami dunia sebagai salah satu ayat-ayat Tuhan.
Cerita-cerita dan metafora Al Attas tidak hanya digunakan pada domain metafisika, dia juga menggunakannya untuk menggambarkan situasi-situasi dalam domain etika dan epistemology
Untuk menekankan gagasan awalnya bahwa pada setiap objek ilmu pengetahuan terdapat batas kebenaran, Al Attas sering menggunakan analogi kursi untuk menjelaskan bagaimana riset dan pengetahuan modern telah kehilangan fokus dan melampaui batas-batas kebenaran, meskipun dalam proses itu mereka menemukan hal-hal lain yang berguna. Dia mengatakan bahwa batas kebenaran ilmu pengetahuan mengenai kursi berhubungan dengan maknanya, yaitu berkaitan dengan kegiatan duduk manusia namun jika seseorang meneliti kursi dalam kaitannya dengan desain kursi itu, desainernya dan komposisi materialnya sehingga menyentuh masalah struktur atomnya dan sebagainya, tentunya seseorang akan dapat mengumpulkan informasi menarik dan mungkin juga bermanfaat namun tujuan hasil penyelidikan apakah kursi itu tidak akan terjawab dan sebenarnya akan menjadi lebih problematik karena tertimbun oleh data-data yang tertumpuk
Al attas menyampaikan gagasan mengenai keindahan (inner beauty) dalam Islam yang permanen, yang bertentangan dengan kondisi temporer umat Islam yang negatif, dan kesalahan mereka dalam mengamati fenomena kondisi itu secara ekstrem, serta mereka yang tertutup matanya untuk mengenali keindahan itu melalui cerita-cerita mengenai seorang perawan tua yang selalu muncul di balkon rumahnya, kemudian memandang ke arah jalan raya tentunya kemunculannya di situ menarik perhatian banyak orang. Mereka kemudian mengeksploitasi situasi itu untuk mendirikan Bazar dan menjual dagangan
11
mereka untuk para pengunjung yang datang melihatnya, setelah tahun berganti tahun gadis itu mulai menunjukkan tanda-tanda ketuaannya dan akibatnya sejumlah pengunjung mereka menurun sehingga hanya tersisa beberapa orang yang menyaksikan penampilan gadis itu. Seorang pendatang yang baru menyaksikan peristiwa terkenal itu terkejut dan bertanya kepada beberapa orang yang tetap bertahan di situ, mengenai apa yang terjadi setelah mendengar jawaban mereka bahwa kebanyakan orang telah pergi setelah gadis itu semakin kehilangan kecantikannya pengunjung baru itu pun dengan sedih mengatakan bahwa orang-orang itu hanya memperhatikan sisi lahiriyah wanita itu dan gagal memahami bahwa ia masih tetap sama seperti dulu
Al Attas juga mengungkapkan cerita lain untuk tujuan yang sama. Ketika mendapat pasangan suami istri yang tua sedang beristirahat dengan tenang suami melihat istrinya dan mendapati mungkin untuk pertama kalinya, beberapa bintik di wajahnya yang cantik ia bertanya kapan "titik-titik hitam ini muncul" istrinya menjawab, bahwa bintik-bintik ini telah ada sejak ia masih muda. Tetapi karena sang suami itu sangat mencintainya ia tidak melihat bintik-bintik itu. Hal atas mengungkapkan kisah ini untuk mengingatkan umat Islam bahwa mereka hendaknya mengembangkan diri secara terus-menerus, karena merekalah sesungguhnya yang menampilkan wajah Islam (kaulah rupa zahir Islam) sebab beberapa muslim yang bodoh hanya akan menilai penampilan lahiriah yang dalam pandangan mereka kurang menyenangkan, atau bahkan meninggalkan agama ini dan menghinanya.
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan? Kalimat yang baik seperti pohon yang baik akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit
Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Allah. Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
Dan perumpamaan kalimat yang buruk
Seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut bersama akar-akarnya dari permukaan bumi. Tidak dapat tetap tetap tegak sedikitpun.
Wajah Islam dalam panggung sejarah dan berbagai persamaannya dengan Yahudi dan Nasrani telah melahirkan tujuan yang terus-menerus bahwa Islam telah meniru beberapa aspek dari kedua komunitas agama terdahulu ini.
12
Satu diantara argumentasi Al Attas dalam menjawab tuduhan ini dengan bentuk cerita
seandainya, katanya, terdapat seorang raja yang membayar seorang pelukis handal untuk duduk pada suatu lokasi yang disukai dan melukis pemandangan di depannya, setelah beberapa lama pelukis itu meninggal dan lukisannya menjadi agak kabur atau sebagiannya rusak. Raja itu memerintahkan seniman lain untuk duduk
seandainya, katanya, terdapat seorang raja yang membayar seorang pelukis handal untuk duduk pada suatu lokasi yang disukai dan melukis pemandangan di depannya, setelah beberapa lama pelukis itu meninggal dan lukisannya menjadi agak kabur atau sebagiannya rusak. Raja itu memerintahkan seniman lain untuk duduk pada tempat yang sama dan melukis panorama yang sama, sehingga beberapa tahun seniman kedua ini, juga meninggal dunia dan lukisannya mengalami nasib yang sama dengan pelukis yang pertama. Raja itu memerintahkan lagi seniman lain, seniman yang terakhir agar mengulangi apa yang telah dilakukan oleh kedua pelukis itu dan memastikan bahwa lukisan terakhir ini menggunakan bahan-bahan terbaik yang tidak mudah rusak. Sekarang jika setelah beberapa tahun terdapat orang asing yang menemukan ketiga lukisan itu, sudah tentu, ia cenderung menyimpulkan bahwa pelukis terakhir meniru kerja-kerja pelukis terdahulu. Meskipun kenyataannya, semua itu adalah kerja individu yang disatukan oleh kesamaan pengalaman oleh perintah dari raja yang sama.
13
BAB III
PENUTUPAN
KESIMPULAN
Metode pendidikan adalah cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan Pendidikan. Menurut Al- Attas tujuan Pendidikan adalah menciptakan manusia yang adil dan beradab. Terdapat beberapa aspek dari kurikulum metode pendidikan yang diusul kan Al-Attas, seperti prinsip dasar Pendidikan dan dimensi dimensi tambahan. Prinsip dasar spiritual yang di dalam nya terdapat beberapa point seperti
Persiapan spiritual
Akal dan pengetahuan, ucapan yang bisa dipercaya dan kesabaran
Otoritas tertinggi yaitu nabi Al-qur’an dan nabi yang diteruskan sahabat dan ilmuan yang mengikuti sunnah-sunnah nya
Hierarki ilmu pengetahuan
Al-Attas berpendapat secara konsisten bahwa muatan pendididkan itu sangat penting dan karena itu merupakan prioritas tertinggi dibandingkan metode nya
Adapun dimensi-dimensi tambahan meliputi,
Peranan Bahasa, yang merupakan peranan yang sangat penting untuk bisa memahami juga sebagai alat dan sarana keagamaan, kebudayaan dan peradaban.
Metode tauhid, untuk menganalisis ide dan instrumen yang penting lainnya seperti metafora, perumpamaan dan dan cerita.
Panca indra, akaldan intuisi
Mengakui validasi berbagai saluran ilmu pengetahuan seperti, panca indra, berita yang benar, akal sehat, dan intuisi yang digabung dalam aqidah
14
Penggunaan metapora dan cerita
Untuk menjelaskan realitas alam fenomena vis-à-vis hakikat realitas tuhan yang fundamental, para sufi banyak menggunakan metafora
DAFTAR PUSTAKA
Nor Wan Daud Wan Mohd, filsafat dan praktik Pendidikan islam syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: penerbit mizan 1, juli 2003
15
No comments:
Post a Comment
Hanya anggota Blog Yang Dapat Memberikan Komentar, Komentar yang belum tampil akan dicek terlebih dahulu oleh Admin.
Terima Kasih Atas Komentarnya